ASWAJA
– SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
I. Pengantar
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal
Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagian dari kajian ke-Islam-an merupakan upaya yang
mendudukkan Aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk
mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara
subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang
diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem
teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang
pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran
teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu.
Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi
sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita
antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni
kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif
(hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah
al-harokah).
Berangkat dari pemikiran di atas,
maka persoalan yang muncul adalah siapakah golongan Aswaja itu? Bagaimana
perkembanganya? Apakah aliran-aliran Islam yang ada termasuk golongan Awaja ?
II. Pengertian ASWAJA
ASWAJA sesungguhnya identik dengan
pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan
sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah
menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan,
kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat
bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh
menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka
yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para
sahabatku.
Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW
menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang
dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak
sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan
dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa
Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj
Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami
nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas maka Ahli
Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi
bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah
yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali
(direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya
berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti
Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Secara semantik arti Ahlussunnah wal
jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika
dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran
atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist.
Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para
Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki
tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti
segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas
Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun
Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH
Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun
tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang
akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang
fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang
tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
III. Historis Pembentukan ASWAJA
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja)
lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin,
debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau
bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun
dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses
pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni
dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi
Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut,
setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah,
ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat
Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi
Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak
setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang
melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih
ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi
karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min
al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu,
adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan
Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan
al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat
kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran
secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai
faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka
mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak
ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan
tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya
Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam
Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg
tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi
(w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering
dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh
sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu
penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di
dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab
Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar
maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri
menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
V. Karakteristik Dan Aspek Cakupan
ASWAJA
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi
pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun
Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA. Kaitannya
dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari,
golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh
ulama salaf.
- Dalam bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
- Dalam masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
- Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali.
Jika sekarang banyak kelompok yang
mengaku sebagai penganut Ahlussunnah Wal-Jama’ah maka mereka harus
membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan
Sunnah rasul dan Sahabatnya.
Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat
kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas pada penerapan dari
prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan
yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan
keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati
sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad
kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia
salah maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara
kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka,
tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa
ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi
berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak aliran dan
madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan
tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan
Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal
tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak
elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang membid'ahkan
berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik
aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya dan lain-lain.
Adapun kelompok yang keluar dari
garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang
diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta
merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran
Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau
Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari
sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah
termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.
Wal hasil salah satu karakter ASWAJA
yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan
kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska
pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan
pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu.
Kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai
murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada
rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula
usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang
tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta
Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA sebagaimana
yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang
yang sangat kondusif.
VI. Penutup
Dari pengertian diatas maka Ahli
Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi
bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah
yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali
(direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golongan yang
pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang
dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Dengan kemunculannya, Aswaja tetap
mempertahankan manhaj-manhaj yang telah ditelorkan oleh para salafussholih
sebagai manhajul fikri. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai
produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja
tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya
‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya,
akhirnya menjadi konsep dasar segala pemikiran Aswaja. Prinsip dasar dari
aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran)
dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa
selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun
tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan
manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang
dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam
antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme
(tekstual) dan rasionalisme.
Selanjutnya, dalam konteks hubungan
sosial, seorang pengikut Aswaja harus bisa menghargai dan mentoleransi
perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan
kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain,
yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakan
keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas
individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh
dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun
(seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan,
baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik
sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam
berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan
yang tidak seharusnya.
Walaupun dalam kenyataannya
sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki
keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya,
dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan
menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang
paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi
dari sikap pengecut dan oportunis.
No comments:
Post a Comment